AMIRHAMZAH.COM

Dari Kita Untuk Bumi

Mikropaleontologi

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Sejarah Umum Paleontologi Mikro

Paleontologi berasal dari kata, Paleo yang berarti masa lampau/kuno dan onthos yang berarti kehidupan kehidupan. Paleontologi adalah merupakan suatu ilmu yang mempelajari sisa-sisa makhluk hidup purba, baik dari fosil-fosilnya maupun jejak-jejak kehidupan yang telah mengalami proses pembatuan. Sedangkan fosil adalah sisa-sisa dari kehidupan masa lampau ataupun segala sesuatu yang menunjukkan kehidupan yang telah membatu dan yang paling muda berumur pleistosen. Pada umumnya fosil ini terjadi pada lingkungan sedimen.

Fosil dalam “Paleontologi” terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:

  • Fosil Makro/besar (Macrofosil), yaitu fosil yang dapat dilihat dengan mata      biasa (megaskopis).
  • Fosil Mikro/kecil (Microfosil), yaitu fosil yang hanya dapat dilihat dengan bantuan alat mikroskop.
  • Ilmu paleontologi mikro mulai berkembang Sejak awal abad 20, perkembangan ilmu mikropaleontologi menjadi semakin pesat, ditandai dengan:
    1911: Prof. J.A. Udden dari Augustana College mempergunakan mikrostratigrafi dan mikrofosil untuk menentukan umur lapisan dan melakukan korelasi umur-umur pemboran air di Illinois. 1916: awal dari pengajaran mikropaleontologi sebagai bidang spesialisasi khusus pada universitas-universitas di Amerika. 1919: pembentukan laboratorium mikropaleontologi pertama di Humble and Rio Bravo Oil Co. 1923: didirikan oleh A. Cushman (1881-1949) Laboratory for foraminiferal research di Massachussetts, USA, yang pada dekade-dekade selanjutnya berkembang menjadi pusat penelitian mikropaleontologi. 1925: awal terbitnya publikasi periodik yang membahas tentang mikrofosil. Sejak 1945, didorong oleh kebutuhan akan minyak bumi, perkembangan mikropaleontologi semakin cepat, dan hingga sekarang mikropaleontologi merupakan ilmu pengetahuan yang praktis diajarkan hampir di seluruh dunia.

          Lamarck (1812) adalah ahli biologi kebengsaan prancis, dalam bukunya “Course de Zoologie” memasukkan foraminifera kedalam cephalopoda. Walaupun penggolongan ini yang kemudian dinyatakan salah, tetapi beberapa jenis yang diberi nama lamarck hingga sekarang masih dipakai. Ide dari Lamarck ini memberikan pandangan baru pada Acide D’Orbigny yang menerbitkan buku berjudul “Tableau methodique de la classe des cephalopodes” yang berisi lebih dari 1500 genus dan 18000 species dari foraminifera, sehingga katalog untuk foraminifera telah lebih dari 30000 halaman. Ia juga menemukan bentuk poly thalamus dan mono thalamus, dan juga ia menemukan foraminifera dari family miliolides, asterigirinidae, polymorphinidae. Dalam klasifikasinya ia tidak mendasarkan pada susunan dinding dari foraminifera tetapi atas jumlah dan susunan kamar – kamarnya. Sehubungan dengan itu maka patutlah ia dianggap sebagai salah seorang yang pertama sekali pembentuk mikro paleontologi ilmiah.

Williamson (1848) melakukan penyelidikan mengenai susunan dindingnya dan variasinya dan ia mengatakan bahwa foraminifera sangat berguna untuk korelasi. Carpenter (1849) bersama dengan Parker dan Jones melakukan penyelidikan tentang susunan kamar pada tahun 1862 yang kemudian menerbitkan text books yang pertama sekali berjudul “introduction to the study of foraminifera” ia juga melakukan klasifikasi berdasarkan bentuk struktur dari dinding (perforate atau imperforate) dan susuna dari kamar.

  1. Dames dan L. G. Bornemann jr adalah orang yang pertama sekali menggunakan mikro fosil sebagai penentuan umur yang menunjukkan bahwa lubang sumur yang dibuat dekat kota Greifswald mengandung batuan yang berumur turonian. Grzybowsky pada tahun 1897 melakukan riset mikro stratigrafi untuk pencarian minyak di sekitar Potock dan Krosni di Polandia, dan ia yakin bahwa analisa dari mikro fosil dapat dipakai scara berhasil dalam pencarian minyak, namun sayang sekali perkerjaan yang sangat berharga sekali tidak terkenal selama puluhan tahun karena tertulis dalam bahasa polish (slavica no leguntur)

Pada tahun 1923 ilmu mikro paleontologi diperkenalkan untuk pertama sekali di universitas Columbia (USA) dan merupakan mata kuliah tersendiri. Hal ini diikuti oleh universitas yang lain. Pada negara – negara industri perkembangan mikro paleontologi dimuali sekitar tahun 1925 – 1930.

Sedangkan fosil adalah sisa-sisa dari kehidupan masa lampau ataupun segala sesuatu yang menunjukkan kehidupan yang telah membatu dan yang paling muda berumur pleistosen. Pada umumnya fosil ini terjadi pada lingkungan sedimen. Mulai dari Phylum, lingkungan pengendapan sampai dengan menentukan umur dari suatu fosil dipelajari dalam Paleontologi tersebut.

 

1.2. Tinjauan Umum

Istilah Mikropaleontologi tidak lepas dari pengertian paleontologi. Paleontologi adalah salah satu cabang geologi yang mempelajari tentang sisa-sisa organisme purba, baik dari fosil-fosilnya maupun jejak-jejak kehidupan yang telah mengalami proses pembatuan.

Fosil adalah sisa-sisa dari kehidupan masa lampau atau segala sesuatu yang menunjukkan kehidupan yang telah membantu dan yang paling muda berumur plistosein. Pada umumnya fosil ini terjadi di lingkungan sedimen, dalam hal ini didalam batuan beku sama sekali tidak dijumpai fosil. Secara garis besar, Paleontologi di bagi menjadi 2, yaitu :

  • Paleobotani: mempelajari sisa-sisa organisma purba yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
  • Paleozoolog: mempelajari sisa-sisa organisma purba yang berasal dari binatang.

Mikropaleontologi adalah cabang dari ilmu pada ilmu paleontologi yang khusus mempelajari sermua sisa-sisa yang berukuran kecil sehingga pada pelaksanaannya harus menggunakan alat bantu mikroskop. Contoh mikrofosil adalah hewan foraminifera.

Foraminifera adalah merupakan mikrofosil yang sangat penting dalam studi mikropaleontologi. Hal ini disebabkan karena jumlahnya yang sangat melimpah pada batuan sedimen. Secara defenisi foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang hidup secara aquatik (terutama hidup di laut), mempunyai satu atau lebih kamar-kamar yang terpisah satu dengan yang lainnya oleh sekat-sekat (septa) yang ditembusi oleh lubang-lubang halus (foramen).

Hewan foraminifera contohnya adalah plankton dan benthos, hidup pada dasar laut. Plankton bentuk testnya adalah bulat dan susunan kamarnya adalah trochospiral, sedangkan benthos bentuk testnya adalah pipih dan susunan kamar planispiral. Kedua-duanya ini adalah merupakan bagian dari fhilum protozoa.

Pengertian Mikrofosil Menurut Jones (1936). Setiap fosil (biasanya kecil) untuk mempelajari sifat-sifat dan strukturnya dilakukan di bawah mikroskop. Umumnya fosil ukurannya lebih dari 5 mm namun ada yang berukuran sampai 19 mm seperti genus fusulina yang memiliki cangkang- cangkang yang dimiliki organisme, embrio dari foil-fosil makro serta bagian-bagian tubuh dari fosil makro yang mengamainya menggunakan mikroskop serta sayatan tipis dari fosil-fosil, sifat fosil mikro dari golongan foraminifera kenyataannya foraminifera mempunyai fungsi/berguna untuk mempelajarinya.

Dari cara hidupnya foraminifera dibagi menjadi 2, yaitu :

  1. Pellagic (mengambang)
  2. Nektonic (bergerak aktif)
  3. Lanktonic (bergerak pasif) mengikuti keadaan sekitarnya
  4. Benthonic (pada dasar laut)
  5. Secile (mikro fosil yang menambat/menempel)
  6. Vagile (merayap pada dasar laut)

Dari dua bagian itu digunakan pada ilmu perminyakan dimana dari kedua fosil itu identik dengan hidrokarbon yang terdapat pada trap (jebakan). Dalam geologi struktur dimana dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya sesar,
kekar serta lipatan.

Foraminifera adalah merupakan mikrofosil yang sangat penting dalam studi mikropaleontologi. Hal ini disebabkan karena jumlahnya yang sangat melimpah pada batuan sedimen. Secara defenisi foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang hidup secara aquatik (terutama hidup di laut), mempunyai satu atau lebih kamar-kamar yang terpisah satu dengan yang lainnya oleh sekat-sekat (septa) yang ditembusi oleh lubang-lubang halus (foramen).

Foraminifera memberikan data umur relatif batuan sedimen laut. Ada beberapa alasan bahwa fosil foraminifera adalah mikrofosil yang sangat berharga khususnya untuk menentukan umur relatif lapisan-lapisan batuan sedimen laut. Data penelitian menunjukkan foraminifera ada di bumi sejak jaman Kambrium, lebih dari 500 juta tahun yang lalu.

Foraminifera mengalami perkembangan secara terus-menerus, dengan demikian spesies yang berbeda diketemukan pada waktu (umur) yang berbeda-beda. Foraminifera mempunyai populasi yang melimpah dan penyebaran horizontal yang luas, sehingga diketemukan di semua lingkungan laut. Alasan terakhir, karena ukuran fosil foraminifera yang kecil dan pengumpulan atau cara mendapatkannya relatif mudah meskipun dari sumur minyak yang dalam.

Foraminifera memberikan data tentang lingkungan masa lampau (skala Geologi). Karena spesies foraminifera yang berbeda diketemukan di lingkungan yang berbeda pula, seorang ahli paleontologi dapat menggunakan fosil foraminifera untuk menentukan lingkungan masa lampau tempat foraminifera tersebut hidup. Data foraminifera telah dimanfaatkan untuk memetakan posisi daerah tropik di masa lampau, menentukan letak garis pantai masa lampau, dan perubahan perubahan suhu global yang terjadi selama jaman es.

Sebuah contoh kumpulan fosil foraminifera mengandung banyak spesies yang masih hidup sampai sekarang, maka pola penyebaran modern dari spesies-spesies tersebut dapat digunakan untuk menduga lingkungan masa lampau di tempat kumpulan fosil foraminifera diperoleh ketika fosil foraminifera tersebut masih hidup. Jika sebuah contoh mengandung kumpulan fosil foraminifera yang semuanya atau sebagian besar sudah punah, masih ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk menduga lingkungan masa lampau. Petunjuk tersebut adalah keragaman spesies, jumlah relatif dari spesies plangtonik dan bentonik (prosentase foraminifera plangtonik dari total kumpulan foraminifera plangtonik dan bentonik), rasio dari tipe-tipe cangkang (rasio Rotaliidae, Miliolidae, dan Textulariidae), dan aspek kimia material penyusun cangkang.

Aspek kimia cangkang fosil foraminifera sangat bermanfaat karena mencerminkan sifat kimia perairan tempat foraminifera ketika tumbuh. Sebagai contoh, perbandingan isotop oksigen stabil tergantung dari suhu air. Sebab air bersuhu lebih tinggi cenderung untuk menguapkan lebih banyak isotop yang lebih ringan. Pengukuran isotop oksigen stabil pada cangkang foraminifera plangtonik dan bentonik yang berasal dari ratusan batuan teras inti dasar laut di seluruh dunia telah dimanfaatkan untuk meme-takan permukaan dan suhu dasar perairan masa lampau. Data tersebut sebagai dasar pemahaman bagaimana iklim dan arus laut telah berubah di masa lampau dan untuk memperkirakan perubahan-perubahan di masa yang akan datang (keakurasiannya belum teruji).

Hewan foraminifera contohnya adalah plankton dan benthos, hidup pada dasar laut. Plankton bentuk testnya adalah bulat dan susunan kamarnya adalah trochospiral, sedangkan benthos bentuk testnya adalah pipih dan susunan kamar planispiral. Kedua-duanya ini adalah merupakan bagian dari phylum protozoa.

 

1.3 Persiapan Penelitian Mikrofosil

     Sebelum melakukan penelitian mikrofosil adapun tahap-tahap persiapan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

 

1.3.1 Sampling

Sampling adalah proses pengambilan sampel dari lapangan. Jika untuk fosil mikro maka yang diambil adalah contoh batuan. Batuan yang diambil haruslah batuan yang masih dalam keadan insitu, yaitu batuan yang masih ditempatnya.

Pengambilan sampel batuan di lapangan hendaknya dengan memperhatikan tujuan yang akan dicapai. Untuk mendapatkan sampel yang baik diperhatikan interval jarak tertentu terutama untuk menyusun biostratigrafi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel di lapangan, yaitu :

  1. Jenis batuan
  2. Metode sampling
  3. Jenis sampel
  4. Jenis Batuan

Fosil mikro pada umumnya dapat dijumpai pada batuan berfraksi halus. Namun perlu diingat bahwa jenis-jenis fosil tertentu hanya dapat dijumpai pada batuan-batuan tertentu. Kesalahan pengambilan sampel berakibat pada tidak dijumpai fosil yang diinginkan. Fosil foraminifera kecil dapat dijumpai pada batuan napal, kalsilutit, kalkarenit halus, batupasir karbonatan halus. Fosil Foraminifera besar, dapat dijumpai pada Kalkarenit, dan Boundstone

 

  1. Metode Sampling

Beberapa prosedur sampling pada berbagai tipe sekuen sedimentasi dapat dilakukan seperti berikut ini :

  • Splot sampling

Spot Sampling dalah dengan interval tertentu, merupakan metoda terbaik untuk penampang yang tebal dengan jenis litologi yang seragam, seperti pada lapisan serpih tebal, batu gamping dan batulanau. Pada metoda ini dapat ditambahkan dengan “channel sample” (parit sampel) sepanjang ± 30 cm pada setiap interval 1,5 meter.

  • Channel Sampling (sampel paritan)

Dapat dilakukan pada penampang lintasan yang pendek (3-5 m) pada suatu litologi yang seragam. Atau pada perselingan batuan yang cepat, channel sample dilakukan pada setiap perubahan unit litologi. Splot Sampling juga dilakukan pada lapisan serpih yang tipis atau sisipan lempung pada batupasir atau batu gamping, juga pada serpih dengan lensa tipis batugamping.

Kriteria-kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel batuan, yaitu :

  1. Memilih sampel batuan insitu dan bukan berasal dari talus, karena dikhawatirkan fosilnya sudah terdisplaced atau tidak insitu.
  2. Batuan yang berukuran butir halus lebih memungkinkan mengandung fosil, karena batuan yang berbutir kasar tidak dapat mengawetkan fosil. Batuan yang dapat mengawetkan fosil antara lain batulempung (claystone), batuserpih (shalestone), batunapal (marlstone), batutufa napalan (marly tuffstone), batugamping bioklastik, batugamping dengan campuran batupasir sangat halus.
  3. Batuan yang lunak akan memudahkan dalam proses pemisahan fosil.
  4. Jika endapan turbidite diambil pada endapan berbutir halus, yang diperkirakan merupakan endapan suspensi yang juga mencerminkan kondisi normal.
  5. Jenis Sampel

Sampel permukaan adalah sampel yang diambil pada suatu singkapan. Sampel yang baik adalah yang diketahui posisi stratigrafinya terhadap singkapan yang lain, namun terkadang pada pengambilan sampel yang acak baru diketahui sesudah dilakukan analisa umur. Sampel permukaan sebaiknya diambil dengan penggalian sedalam > 30 cm atau dicari yang masih relatif segar (tidak lapuk).

Berikut adalah cara-cara atau tahap-tahap yang digunakan dalam aturan sampling batuan hingga pemisahan fosil dari material asing yang non-fosil.

  • Penguraian/pencucian

Langkah-langkah proses pencucian batuan adalah sebagai berikut :

  • Batuan sedimen ditumbuk dengan palu karet atau palu kayu hingga berukuran dengan diameter 3-6 mm.
  • Larutkan dalam larutan H2O2 (hydrogen peroksida) 50% diaduk dan dipanaskan.
  • Diamkan sampai butiran batuan tersebut terlepas semua (24 jam) jika fosil masih nampak kotor dapat dilakukan dengan perendaman menggunakan air sabun, lalu dibilas dengan air sampai bersih.
  • Keringkan dengan terik matahari dan fosil siap untuk diayak.
  • Pemisahan fosil

Cara memisahkan fosil-fosil dari kotoran adalah dengan menggunakan jarum dari cawan tempat contoh batuan, untuk memudahkan dalam pengambilan fosilnya perlu disediakan air (jarum dicelupkan ke air terlebih dahulu sebelum pengambilan), pada saat pengambilan fosil dari pengotor harus dilakukan dengan hati-hati, karena apabila pada saat pengambilannya tidak hati-hati maka fosil tersebut bias jatuh dan bias juga pecah, sehingga tidak bisa untuk dilanjutkan pendeskripsiannya. Alat-alat yang dibutuhkan dalam pemisahan fosil antara laian adalah:

  1. Cawan untuk tempat contoh batuan
  2. Jarum untuk mengambil batuan
  3. Kuas bulu halus
  4. Cawan tempat air
  5. Lem untuk merekatkan fosil
  6. Kertas untuk memberi nama fosil
  7. Tempat fosil
  8. Mikroskop

1.3.2 Kualitas Sampel

Kualitas sampel batuan perlu diperhatikan agar fosil mikro yang didapatkan baik untuk dideterminasi atau dianalisa. Untuk mendapatkan fosil yang baik maka dalam pengambilan suatu contoh batuan untuk analisis mikropaleontologi harus memenuhi kriteria berikut ini:

  • Bersih

Sebelum merngambil contoh batuan yang dimaksud, kita harus membersihkannya dari lapisan-lapisan pengotor yang menyelimutinya. Bersihkan dengan pisau kecil dari pelapukan ataupun akar tumbuh-tumbuhan, juga dari polen dan serbuk sari tumbuh-tumbuhan yang hidup sekarang. Khusus untuk sampel pada analisa Palynologi, sampel tersebut harus terlindung dari udara terbuka karena dalam udara banyak mengadung polen dan serbuk sari yang dapat menempel pada batuan tersebut. Suatu cara yang cukup baik, bisa dilkukan dengan memasukkan sampel yang sudah dibersihkan tersebut kedalam lubang metal/fiberglass yang bersih dan bebas karat. Atau dapat juga kita mengambil contoh batuan yang agak besar, baru kemudian sesaat akan dilkukan preparasi kita bersihkan dan diambil bagian dalam/inti dari contoh batuan tersebut.

  • Representif dan Komplit

Harus dipisahkan dengan jelas antara contoh batuan yang mewakili suatu sisipan ataupun suatu lapisan batuan. Untuk studi yang lengkap, ambil sekitar 200-500 gram batuan sedimen yang sudah dibersihkan. Untuk batuan yang diduga sedikit mengandung mikrofosil, berat contohnya lebih baik dilebihkan. Sebaliknya pada analisa nannoplankton hanya dibutuhkan beberapa gram saja untuk setiap sampelnya.

  • Pasti

Apabila sampel tersebut terkemas dengan baik dalam suatu kemasan kedap air (plastik) yang diatasnya tertulis dengan tinta tahan air, segala keterangan penting tentang sampel tersebut seperti nomor sampel, lokasi (kedalaman), jenis batuan, waktu pengambilan dan sebagainya maka hasil analisa sampel tersebut akan pasti manfaatnya.

 

  • Jenis-Jenis Sampel

Secara garis besar, jenis sampel apat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :

  • Sampel permukaan (surface sample). Adalah sample yang diambil pada permukaan tanah. Lokasi dan posisi stratigrafinya dapat diplot dalam peta. Sampel bawah permukaan (sub surface sample).
  • Sampel bawah permukaan adalah sampel yang diambil dari suatu pengeboran. Dari cara pengambilannya, sampel bawah permukaan ini dapat dipisahkan menjadi 4 bagian, yaitu :
    1. inti bor (core); seluruh bagian lapisan pada kedalaman tertentu diambil secara utuh.
    2. sampel hancuran (ditch-cutting); lapisan pada kedalaman tertentu dihancurkan dan dipompa ke luar dan kemudian ditampung.
    3. sampel sisi bor (side-wall core); diambil dari sisi-sisi dinding bor dari lapisan pada kedalaman tertentu.
    4. Setiap pada kedalaman tertentu pengambilan sampel harus dicatat dengan cermat dan kemungkinan adanya fosil-fosil runtuhan (caving).

 

1.3.4 Preparasi Fosil

Preparasi adalah proses pemisahan fosil dari batuan dan material pengotor lainnya. Setiap jenis fosil memerlukan metode preparasi yang. Proses ini pada umumnya bertujuan untuk memisahkan mikrofosil yang terdapat dalam batuan dari material-material lempung (matrik) yang menyelimutinya.

Untuk setiap jenis mikrofosil, mempunyai teknik preparasi tersendiri. Polusi, terkontaminasi dan kesalahan dalam prosedur maupun kekeliruan pada pemberian label, harus tetap menjadi perhatian agar mendapatkan hasil optimum. Beberapa contoh teknik preparasi untuk foraminifera & ostracoda, nannoplankton dan pollen dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

  • Foraminifera kecil & Ostracoda

Untuk mengambil foraminifra kecil dan Ostracoda, maka perlu dilakukan preparasi dengan metoda residu. Metoda ini biasanya dipergunakan pada batuan sedimen klastik halus-sedang, seperti lempung, serpih, lanau, batupasir gampingan dan sebagainya.

Caranya adalah sebagai berikut, yaitu:

  1. Ambil ± 100 – 300 gram sedimen kering.
  2. Apabila sedimen tersebut keras-agak keras, maka harus dipecah secara perlahan dengan menumbuknya mempergunakan lalu besi/porselen.
  3. setelah agak halus, maka sedimen tersebut dimasukkan ke dalam mangkok dan dilarutkan dengan H2O2 (10 – 15%) secukupnya untuk memisahkan mikrofosil dalam batuan tersebut dari matriks (lempung) yang melingkupinya.
  4. Biarkan selama ± 2-5 jam hingga tidak ada lagi reaksi yang terjadi.
  5. Setelah tidak terjadi reaksi, kemudian seluruh residu tersebut dicuci dengan air yang deras diatas saringan yang berukuran dari atas ke bawah adalah 30-80-100 mesh.
  6. Residu yang tertinggal pada saringan 80 & 100 mesh, diambil dan kemudian dikeringkan didalam oven (± 600 C).
  7. Setelah kering, residu tersebut dikemas dalam plastik residu dan diberi label sesuai dengan nomor sampel yang dipreparasi.
  8. Sampel siap dideterminasi.
Gambar 1.1 Peralatan standar yang dibutuhkan pada preparasi dan observasiforaminifera kecil dan ostracoda ( Bignot, 1982 )

 

Keterangan gambar:

  1. Saringan dengan 30 – 80 – 100 mesh
  2. Wadah pengamatan mikrofosil.
  3. Jarum penguntik.
  4. Slide karton (model Jerman, 40 x 25 mm )
  5. Slide karton (model internasional, 75 x 25 mm
  • Foraminifera besar

Istilah foram besar diberikan untuk golongan foram bentos yang memiliki ukuran relative besar, jumlah kamar relative banyak, dan struktur dalam kompleks. Umumnya foram besar banyak dijumpai pada batuan karbonat khususnya batugamping terumbu dan biasanya berasosiasi dengan algae yang menghasilkan CaCO3 untuk test foram itu sendiri.

Di Indonesia foraminifera bentos besar sangat banyak ditemukan dan bisa digunakan untuk menentukan umur relatif batuan sedimen dengan menggunakan zonasi foraminifera bentos besar berdasarkan Adams (1970), dengan demikian untuk menganalisanya dilakukan dengan mempergunakan sayatan tipis. Prosedurnya adalah sebagai berikut :

  1. Contoh batuan yang akan dianalisis disayat terlebih dahulu dengan mesin penyayat/gurinda. Arah sayatan diusahakan memotong struktur tubuh foraminifera besar yang ada didalamnya.
  2. Setelah mendapatkan arah sayatan yang dimaksud, contoh tersebut ditipiskan pada kedua sisinya.
  3. Poleskan salah satu sisi contoh tersebut dengan mempergunakan bahan abrasif (karbondum) dan air.
  4. Setelah itu, tempel sisi tersebut pada objektif gelas (ukuran internasional 43 x 30 mm) dengan mempergunakan Kanada Balsam.
  5. Tipiskan kembali sisi lainnya hingga contoh tersebut menjadi transparan dan biasanya ketebalan sekitar 30-50 μm.
  6. Setelah ketebalan yang dimaksud tercapai, teteskan Kanada Balsam secukupnya dan kemudian ditutup dengan “cover glass”. Beri label.
  7. Sampel siap dideterminasi

 

  • Nannoplankton

Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop optik. Dapat dilakukan dengan dua metode preparasi, yaitu:

  • Quick smear-slide/metode poles
  • Smear slide/metode suspense
  1. Ambil satu keping contoh batuan segar sebesar ± 10 gr., bersihkan dari kotoran yang menempel dengan sikat halus.
  2. Cungkil bagian dalam dari sampel tersebut dan letakkan cukilan tersebut di atas objektif gelas.
  3. Beri beberapa tetes aquades untuk melarutkan batuannya dan ratakan.
  4. Buang kerikil-kerikil yang kasar yang tidak larut.
  5. Panaskan dengan hot plate objektif gelas tersebut hingga larutan tersebut kering.
  6. Setelah kering, bersihkan/tipiskan dengan cover glass supaya lebih homogen dan tipis.
  7. Biarkan mendingin, beri label, sampel siap dideterminasi.
  • Smear Slide / Metode suspensi

Membutuhkan waktu yang lama, namun hasilnya lebih baik.

  1. Ambil contoh batuan dengan berat 10-25 gr. Bersihkan dan usahakan    diambil dari sampel yang segar.
  2. Larutkan dalam tabung gelas dengan aquades dan sedikit Natrium bikarbonat (Na2Co3).
  3. Masukkan tabung tersebut kedalam ultrasonik vibrator ±1 jam tergantung pada kerasnya sampel.
  4. Saring larutan tersebut dengan mesh 200, kemudian tampung suspensi dan butiran halusnya kedalam bejana gelas.
  5. Biarkan suspensi tersebut mengendap.
  6. Teteskan 1-2 tetes pipet kecil dari larutan tersebut di atas gelas objektif dan  panaskan dengan hot plate.
  7. Setelah kering teteskan kanada balsam dan dipanaskan hingga lem tersebut matang dan tutup dengan cover glass.
  8. Dinginkan dan beri label.
  9. Sampel siap dideterminasi.
  • Polen

Untuk melepaskan pollen/spora dari mineral-mineral yang melimgkupinya, dapat dilakukan dengan beberpa tahap preparasi yang mebutuhkan ketelitian dan ditunjang oleh fasilitas laboratorium yang lengkap, seperti cerobong asap, ruang asam, tabung-tabung reaksi, sentrifugal dan sebagainya. Beberapa larutan kimia yang dibutuhkan adalah: HCl, HF, KOH, dan HNO3

 

1.3.5 Penyajian Mikrofosil

Dalam penyajian mikrofosil ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu:

  1. Observasi

Observasi adalah pengamatan morfologi rincian mikrofosil dengan mempergunakan miroskop. Setelah sampel batuan selesai direparasi, hasilnya yang berupa residu ataupun berbentuk sayatan pada gelas objek diamati di bawah mikroskop. Mikroskop yang dipergunakan tergantung pada jenis preparasi dan analisis yang dilakukan. Secara umum terdapat tiga jenis mikroskop yang dipergunakan, yaitu mikroskop binokuler, mikroskop polarisasi dan mikroskop scanning-elektron (SEM).

  1. Determinasi

Determinasi merupakan tahap akhir dari pekerjaan mikropaleontologis di laboratorium, tetapi juga merupakan tahap awal dari pekerjaan penting selanjutnya, yaitu sintesis. Tujuan determinasi adalah menentukan nama genus dan spesies mikrofosil yang diamati, dengan mengobservasi semua sifat fisik dan kenampakan optik mikrofosil tersebut.

 

  • Deskripsi

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada mikrofosil, baik sifat fisik maupun kenampakan optiknya dapat direkam dalam suatu deskripsi terinci yang bila perlu dilengkapi dengan gambar ilustrasi ataupun fotografi. Deskripsi sangat penting karena merupakan dasar untuk mengambil keputusan tentang penamaan mikrofosil yang bersangkutan.

  • Ilustrasi

Pada tahap ilustrasi, gambar dan ilustrasi yang baik harus dapat menjelaskan berbagai sifat khas tertentu dari mikrofosil itu. Juga, setiap gambar ilustrasi harus selalu dilengkapi dengan skala ataupun ukuran perbesarannya.

 

  • Penamaan

Seorang sarjana Swedia Carl Von Line (17071778) yang kemudian melatinkan namanya menjadi Carl Von Linnaeus membuat suatu hukum yang dikenal dengan Law Of Priority, 1958 yang pada pokoknya menyebutkan bahwa nama yang telah dipergunakan pada suatu individu tidak dipergunakan untuk individu yang lain.

Nama kehidupan pada tingkat genus terdiri dari satu kata sedangkan tingkat spesies terdiri dari dua kata, tingkat subspecies terdiri dari tiga kata. Nama-nama kehidupan selalu diikuti oleh nama orang yang menemukannya. Contoh penamaan fosil sebagai berikut:

Globorotalia menardi exilis Blow, 1998, arti dari penamaan adalah fosil hingga subspesies diketemukan oleh Blow pada tahun 1969

Globorotalia ruber elogatus (D’Orbigny), 1826, arti dari n. sp adalah  spesies baru.

Pleurotoma carinata Gray, Var Woodwardi Martin, arti dari penamaan adalah Gray memberikan nama spesies sedangkan Martin memberikan nama varietas.

Globorotalia acostaensis pseudopima Blow, 1969,s arti dari n.sbsp adalah subspecies.

Dentalium (s.str) ruteni Martin, arti dari penamaan adalah fosil tersebut sinonim dengan dentalium rutteni yang diketemukan Martin.

Globorotalia of tumd, arti dari penamaan ini adalah penemu tidak yakin apakah bentuk tersebut betul Globorotalia tumida tetapi dapat dibandingkan dengan spesies ini.

Spaeroidinella aff dehiscen, arti dari penamaan tersebut adalah fosil ini berdekatan (berfamily) dengan sphaeroidinella dehiscens. (aff = affiliation)

Ammobaculites sp, artinya mempunyai bermacam-macam spesies

Recurvoides sp, artinya spesies (nama spesies belum dijelaskan)

 

  • Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan diadakannya praktikum mikropaleontologi ini adalah sebagai beriku:

 

1.4.1 Maksud

Adapun maksud dari mengikuti praktikum mikropaleontologi ini adalah untuk memenuhi beban SKS semester III tahun ajaran 2013/2014 di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Teknologi Medan. Dan dapat mengaplikasikan materi yang telah disampaikan oleh dosen yang bersangkutan di perkuliahan dalam menjalani praktikum di laboratorium Paleontologi Mikro.

 

1.4.2 Tujuan

Tujuan dalam mengikuti praktikum Mikropaleontologi adalah untuk mempelajari morfologi atau bentuk, sruktur mikro maupun komposisi kimia dan mineral dari pada mikrofosil tersebut, untuk dapat membuat klasifikasi dan mengurut asal-usulnya dalam suatu sistematika yang betul, untuk mempelajari hubungan antara mikrofosil tersebut dan peranannya dalam proses sedimentasi batuan, paleogeografi, stratigrafi dan paleobiologi, untuk dapat menentukan lingkungan pengendapan dari mikrofosil dan umur batuan yang mengandungnya dan untuk dapat menentukan korelasi suatu wilayah.

 

1.5. Pengertian Mikropaleontologi

Mikropalenteologi cabang ilmu palenteologi yang khusus membahas semua sisa-sisa organisme yang biasa disebut mikrofosil.yang dibahas antara lain adalah mikrofosil, klasifikasi, morfologi, ekologi dan mengenai kepentingannya terhadap stratigrafi. Pengertian Mikrofosil Menurut Jones (1936), yaitu setiap fosil (biasanya kecil) untuk mempelajari sifat-sifat dan strukturnya dilakukan di bawah mikroskop. Umumnya fosil ukurannya lebih dari 5 mm namun ada yang berukuran sampai 19 mm seperti genus fusulina yang memiliki cangkang- cangkang yang dimiliki organisme, embrio dari fosil-fosil makro serta bagian-bagian tubuh dari fosil makro yang mengamainya menggunakan mikroskop serta sayatan tipis dari fosil-fosil, sifat fosil mikro dari golongan foraminifera kenyataannya foraminifera mempunyai fungsi/berguna untuk mempelajarinya.

 

1.6 Cara Hidup Mikrofosil

Cara hidup mikrofosil dapat dibedakan dalam dua golongan besar, yaitu sebagai berikut :

  1. Pellagic.

Pellagic yaitu cara hidup organisme dengan mengambangkan diri atau mengapung. Cara pellagic ini meliputi:

  1. Nektonik, yaitu organisme yang hidupnya mengambang sehingga dapat bergerak bebas atau bergerak secara aktif.
  2. Planktonik, yaitu organisme yang hidupnya mengambangkan diri dan bergerak bergantung pada arah arus atau bergerak secara pasif.

Benthonic merupakan cara hidup organisme yang berada pada dasar laut.

Berdasarkan cara hidupnya maka benthonik dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

  1. Sessile yaitu organisme yang hidupnya di dasar laut dengan cara menambatkan diri terhadap benda-benda disekitarnya.
  2. Vagille yaitu organisme yang hidupnya di dasar laut dengan cara merayap.

 

1.7.   Kegunaan Mikrofosil dalam llmu Geologi serta Dunia Industri

Mikrofosil seperti Foraminifera dimanfaatkan untuk menemukan minyak bumi. Oleh karena itu, seorang ahli paleontologi dapat meneliti sekeping kecil contoh batuan yang diperoleh selama pengeboron sumur minyak dan selanjutnya menentukan umur geologi dan lingkungan saat batuan tersebut terbentuk.

Sejak 1920-an industri perminyakan memanfaatkan jasa penelitian mikropaleontologi dari seorang ahli mikrofosil. Kontrol stratigrafi dengan menggunakan fosil foraminifera memberikan sumbangan yang berharga dalam mengarahkan suatu pengeboran ke arah samping pada horison yang mengandung minyak bumi guna meningkatkan produktifikas minyak.

Selain dapat menentukan daerah prospek minyak, mikrofosil juga digunakan dalam menentukan kondisi geologi suatu daerah serta dapat menentukan umur batuan suatu daerah projek. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat menentukan sejarah geologi, menentukan umur dari pada batuan dan lingkungan pengendapannya.

Berdasarkan kegunaannya dikenal beberapa istilah, yaitu :

  1. Fosil indeks/fosil penunjuk/fosil pandu

Fosil indeks/fosil penunjuk/fosil pandu yaitu fosil yang dipergunakan sebagai penunjuk umur relatif. Umumnya fosil ini mempuyai penyebaran vertikal pendek dan penyebaran lateral luas, serta mudah dikenal. Contohnya: Globorotalina Tumida penciri N18 atau Miocen akhir.

  1. Fosil bathymetry/fosil kedalaman

Fosil bathymetry/fosil kedalaman yaitu fosil yang dipergunakan untuk menentukan lingkungan kedalaman pengendapan. Umumnya yang dipakai adalah benthos yang hidup di dasar. Contohnya: Elphidium spp penciri lingkungan transisi.

  1. Fosil horizon/fosil lapisan/fosil diagnostic

Fosil horizon/fosil lapisan/fosil diagnostic yaitu fosil yang mencirikan khas yang terdapat pada lapisan yang bersangkutan. Contoh: Globorotalia tumida penciri N18.

  1. Fosil lingkunganFosil

lingkungan yaitu fosil yang dapat dipergunakan sebagai penunjuk lingkungan sedimentasi. Contohnya: Radiolaria sebagai penciri lingkungan laut dalam.

  1. Fosil iklim

Fosil iklim yaitu fosil yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk iklim pada saat itu. Contohnya: Globigerina Pachyderma penciri iklim dingin.

 

 

BAB II

FORAMINIFERA PLANKTON

 

2.1 Tinjauan Umum

Foraminifera adalah organisme bersel tunggal (protista) yang mempunyai cangkang atau test (istilah untuk cangkang internal). Foraminifera diketemukan melimpah sebagai fosil, setidaknya dalam kurun waktu 540 juta tahun.

Plankton didefinisikan sebagai organisme hanyut (tidak memiliki kemampuan renang) apapun yang hidup dalam zona pelagik (bagian atas) samudera, laut, dan badan air tawar.

Foraminifera planktonik jumlah genusnya sedikit, tetapi jumlah spesiesnya banyak. Plankton pada umumnya hidup mengambang di permukaan laut dan fosil plankton ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah geologi, antara lain :

  • Sebagai fosil petunjuk
  • Korelasi
  • Penentuan lingkungan pengendapan

Foraminifera plankton tidak selalu hidup di permukaan laut, tetapi pada kedalaman tertentu ;

  • Hidup antara 30 – 50 meter
  • Hidup antara 50 – 100 meter
  • Hidup pada kedalaman 300 meter
  • Hidup pada kedalaman 1000 meter

Ada golongan foraminifera plankton yang selalu menyesuaikan diri terhadap temperatur, sehingga pada waktu siang hari hidupnya hampir di dasar laut, sedangkan di malam hari hidup di permukaan air laut. Sebagai contoh adalah Globigerina pachyderma di Laut Atlantik Utara hidup pada kedalaman 30 sampai 50 meter, sedangkan di laut atlantik tengah hidup pada kedalaman 200 sampai 300 meter.

Plankton adalah organisme yang hidupnya melayang atau mengambang di daerah pelagic. Namun demikian ada juga plankton yang memiliki kemampuan renang cukup kuat sehingga dapat melakukan migrasi harian.

Plankton dibagi menjadi dua golongan besar yaitu fitoplankton (plakton tumbuhan atau nabati) dan zooplankton (plankton hewani).

  • Fitoplankton

Fitoplankton adalah komponen autotrof plankton. Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen.

Nama fitoplankton diambil dari istilah Yunani, phyton atau “tanaman” dan (“planktos”), berarti “pengembara” atau “penghanyut”. Sebagian besar fitoplankton berukuran terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, ketika berada dalam jumlah yang besar, mereka dapat tampak sebagai warna hijau di air karena mereka mengandung klorofil dalam sel-selnya (walaupun warna sebenarnya dapat bervariasi untuk setiap spesies fitoplankton karena kandungan klorofil yang berbeda beda atau memiliki tambahan pigmen seperti phycobiliprotein).

Fitoplankton ada yang berukuran besar dan kecil dan biasanya yang besar tertangkap oleh jaringan plankton yang terdiri dari dua kelompok besar, yaitu diatom dan dinoflagellata. Diatom mudah dibedakan dari dinoflagellata karena bentuknya seperti kotak gelas yang unik dan tidak memiliki alat gerak. Pada proses reproduksi tiap diatom akanmembela dirinya menjadi dua. Satu belahan dari bagian hidup diatom akan menempati katup atas (epiteka) dan belahan yang kedua akan menempati katup bawah (hipoteka). Sedangkan kelompok utama kedua yaitu dinoflagellata yang dicirikan dengan sepasang flagella yang digunakan untuk bergerak dalam air. Beberapa dinoflagellata seperti Nocticula yang mampu menghasilkan cahaya melalui proses bioluminesens (Nybakken, 1992).

Anggota fitoplankton yang merupakan minoritas adalah berbagai alga hijau biru (Cyanophyceae), kokolitofor (Coccolithophoridae, Haptophyceae), dan silicoflagellata (Dictyochaceae, Chrysophyceae). Cyanophyceae laut hanya terdapat di laut tropik dan sering sekali membentuk “permadani” filamen yang padat dan dapat mewarnai air (Nybakken, 1992).

Fitoplankton hanya dapat dijumpai pada lapisan permukaan saja karena persyaratan hidupnya pada tempat-tempat yang mempunyai sinar matahari yang cukup untuk melakukan fotosintesis. Mereka akan lebih banyak dijumpai pada tempat yang terletak di daerah continental shelf dan di sepanjang pantai dimana terdapat proses upwelling. Daerah ini biasanya merupakan suatu daerah yang cukup kaya akan bahan-bahan organik.

Fitoplankton disebut juga plankton nabati, adalah tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang di laut. Ukurannya sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Umumnya fitoplankton berukuran 2 – 200 µm (1 µm = 0,001mm).

 

  • Zooplankton

Zooplankton, disebut juga plankton hewani, adalah hewan yang hidupnya mengapung, atau melayang dalam laut. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaannya sangat ditentukan ke mana arus membawanya. Zooplankton bersifat heterotrofik, yang maksudnya tak dapat memproduksi sendiri bahan organik dari bahan inorganik. Oleh karena itu, untuk kelangsungan hidupnya, ia sangat bergantung pada bahan organik dari fitoplankton yang menjadi makanannya. Jadi, zooplankton lebih berfungsi sebagai konsumen (consumer) bahan organik.

Kelompok yang paling umum ditemui antara lain kopepod (copepod), eufausid (euphausid), misid (mysid), amfipod (amphipod). Zooplankton dapat dijumpai mulai dari perairan pantai, perairan estuaria, di depan muara sampai ke perairan di tengah samudra, dari perairan tropis hingga ke perairan kutub.

Zooplankton ada yang hidup di permukaan dan ada pula yang hidup di perairan dalam. Ada pula yang dapat melakukan migrasi vertikal harian dari lapisan dalam ke permukaan. Hampir semua hewan yang mampu berenang bebas (nekton) atau yang hidup di dasar laut (benthos) menjalani awal kehidupannya sebagai zooplankton yakni ketika masih berupa terlur dan larva. Baru dikemudian hari, menjelang dewasa, sifat hidupnya yang semula sebagai plankton berubah menjadi nekton atau benthos.

Ukuran plankton sangat beraneka ragam, dari yang sangat kecil hingga yang besar. Penggolongan di bawah ini diusulkan oleh Sieburth, (1978) yang kini banyak digunakan.

  • Makroplankton (2-20 mm)

Contohnya adalah Pteropods; Chaetognaths; Euphausiacea (krill); Medusae; ctenophores; salps, doliolids dan pyrosomes (pelagic Tunicata); Cephalopoda.

  • Mesoplankton (0,2-2 mm)

Sebagian besar zooplankton berada dalam kelompok ini, seperti metazoans; copepods; Medusae; Cladocera; Ostracoda; Chaetognaths; Pteropods; Tunicata; Heteropoda.

  • Mikroplankton (20-200 µm)

Contohnya adalah: eukaryotic protist besar; kebanyakan phytoplankton; Protozoa (Foraminifera); ciliates; Rotifera; metazoans mudaCrustacea (copepod nauplii)

  • Nanoplankton (2-20 µm)

 

2.2   Ekologi Umum Foraminifera Plankton

Mikroorganisme sangat terpengaruh hidupnya oleh lingkungan tempat tinggalnya. Dalam perjuangan untuk hidupnya, kebanyakan menjadi sangat terkhususkan dengan cara atau kondisi tertentu.

Adapun beberapa kondisi yang mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang hidup di laut khususnya plankton, yaitu :

  • Temperatur air, nilai rata-rata -2 sampai dengan +2o C untuk lautan, dan ± 352o C untuk lautan tertutup.
  • Salinitas/kadar garam (33-39 % untuk lautan terbuka).
  • Turbulensi/gelombang air.
  • Turbidit dan kekeruhan air laut.
  • Asal sedimen, ukuran butir stabilitas dan kecepatan sedimentasi.
  • Aspek geologi tertentu seperti vulkanisme.
  • Jumlah makanan yang tersedia.
  • Dominasi jenis-jenis yang lebih kuat akan mempengaruhi perbandingan daripada mikroorganisme yang ada pada suatu tempat.

 

2.3   Tata Cara Pendeskripsian Plankton

Tahapan pendeskripsian foraminifera plankton dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut:

 

2.3.1 Bentuk Test

Bentuk test adalah bentuk keseluruhan dari cangkang foraminifera, sedangkan bentuk kamar merupakan bentuk masing-masing kamar pembentuk test. Macam-macam pembentuk test antara lain:

  • Tabular (berbentuk tabung), contohnya Bathyspiral rerufescens.
  • Bifurcating (bentuk cabang), contohnya Rhabdammina abyssorum.
  • Radiate (bentuk radial), contohnya Astrorizalimicola sandhal.
  • Arborescent (bentuk pohon), contohnya Dendrophrya crecta.
  • Irregular (bentuk tak teratur), contohnya Planorbulinoides sp.
  • Hemispherical (bentuk setengah bola), contohnya Pyrgo murrhina.
  • Zig-zag (bentuk berbelok-belok), contohnya
  • Lancealate (bentuk seperti gada), contohnya Guttulina sp.
  • Conical (bentuk kerucut), contohnya Textularilla cretos.
  • Spherical (bentuk bola), contohnya Orbulina universa.
  • Discoidal (bentuk cakram), contoh Cycloloculina miocenica.
  • Fusiform (bentuk gabungan), contohnya Vaginulina leguman.
  • Biumbilicate (mempunyai dua umbilicus), contohnya Anomalinella rostrata.
  • Biconvex (bentuk cembung di kedua sisi), contohya Robulus nayaroensis.
  • Flaring (bentuk seperti obor), contohnya Goesella rotundeta.
  • Spiroconvex (bentuk cembung di sisi dorsal), contohnya Cibicides refulgens.
  • Umbilicoconvex (bentuk cembung di sisi ventral), contohnya Pulvinulinella pacivica.
  • Lenticular biumbilicate (bentuk lensa), contohnya Cassidulina laevigata.
  • Palmate (bentuk daun), contohnya Flabellina frugosa.

 

 

Gambar 2.1 Macam-macam bentuk Test Foraminifera

 

 

 

2.3.2 Bentuk Kamar

  • Angular Conical
  • Radial elongate
  • Claved
  • Tubulospinate
  • Cyclical
  • Flatulose
  • Semicircular

 

Macam-macam bentuk kamar antara lain:

  • Spherical
  • Pyriform
  • Globular
  • Oved
  • Angular truncate
  • Hemispherical
  • Angular rhomboid
  • Tabular

 

 

Gambar 2.2. Macam-macam bentuk kamar foraminifera

 

 

2.3.3 Susunan Kamar

Susunan kamar foraminifera plankton dibagi menjadi:

  • Planispiral yaitu sifatnya berputar pada satu bidang, semua kamar terlihat dan pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal sama. Contoh:
  • Trochospiral yaitu sifat berputar tidak pada satu bidang, tidak semua kamar terlihat, pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal tidak sama. Contohnya: Globigerina.
  • Streptospiral yaitu sifat mula-mula trochospiral, kemudian planispiral menutupi sebagian atau seluruh kamar-kamar sebelumnya. Contoh: Pulleniatina.

 

2.3.4 Bentuk Suture

Suture merupakan garis yang terlihat pada dinding luar test, merupakan perpotongan septa dengan dinding kamar. Suture penting dalam pengklasifikasian foraminifera karena beberapa spesies memiliki suture yang khas.

Macam-macam bentuk suture:

  • Tertekan (melekuk), rata atau muncul di permukaan test. Contohnya:    Chilostomella colina.
  • Lurus, melengkung lemah, sedang atau kuat. Contoh: Orthomorphina challegeriana
  • Suture yang mempunyhai hiasan. Contohnya: Elphidium incertum untuk hiasan berupa bridge.

 

2.3.5 Komposisi Test

Berdasarkan komposisi test foraminifera dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :

  1. Dinding Chitin/tektin

Dinding tersebut terbuat dari zat tanduk yang disebut chitin, namun foraminifera dengan dinding seperti ini jarang dijumpai sebagai fosil. Ciri-ciri dinding chitin adalah flexible, transparan, berwarna kekuningan dan imperforate.

Foraminifera yang mempunyai dinding chitin, antara lain :

  1. Golongan Allogromidae
  2. Golongan Miliolidae
  3. Golongan Lituolidae
  4. Beberapa golongan Astrorhizidae
  5. Dinding Arenaceous dan aglutinous

Dinding Arenaceous dan aglutinous terbuat dari zat atau mineral asing di sekelilingnya kemudian direkatkan satu sama dengan zat perekat oleh organisme tersebut. Pada dinding arenaceous materialnya diambil dari butir-butir pasir saja, sedangkan dinding agglutinin materialnya diambil butir-butir, sayatan-sayatan mika, spone specule, fragmen-fragmen dari foraminifera lainnya dan lumpur. Zat perekatnya biasanya chitin, oksida besi atau zat perekat gampingan. Zat perekat gampingan adalah khas untuk foraminifera yang hidup di daerah tropis, sedangkan zat perekat silika adalah khas untuk foraminifera yang hidup perairan dingin.

Contoh :

  • Dinding Aglutinous : Ammobaculites aglutinous, Saccamina sphaerica
  • Dinding Aranaceous : Psammosphaera
  1. Dinding Siliceous

Beberapa ahli (Brady, Humbler, Chusman, Jones) berpendapat bahwa dinding silicon dihasilkan oleh organisme itu sendiri. Menurut Glessner dinding silicon berasal dari zat sekunder. Galloway berpendapat bahwa dinding silicon dapat dibentuk oleh organisme itu sendiri (zat primer) ataupun terbentuk secara sekunder. Tipe dinding ini jarang ditemukan, hanya dijumpai pada beberapa golongan Ammodiscidae dan beberapa spesies dari Miliodae.

  1. Dinding Calcareous atau gampingan

Dinding yang terdiri dari zat-zat gampingan dijumpai pada sebagian besar foraminifera. Dinding yang gampingan dapat dikelompokkan menjadi:

 

 

  • Gampingan Porselen

Gampingan porselen adalah dinding gampingan yang tidak berpori, mempunyai kenampakan seperti pada porselen, bila kena sinar langsung berwarna putih opaque. Contoh : Quinqueloculina Pyrgo.

  • Gamping Granular

Gamping Granular adalah dinding yang terdiri dari kristal-kristal kalsit yang granular, pada sayatan tipis ini kelihatan gelap. Dijumpai pada golongan endothyra dan beberapa spesies dari bradyna serta Hyperammina.

  • Gamping Komplek

Gamping Komplek adalah dinding dijumpai berlapis, kadang- kadang terdiri dari satu lapis yang homogen, kadang-kadang dua lapis bahkan sampai empat lapis. Terdapat pada golongan Fussulinidae.

  • Gamping Hyaline

Terdiri dari zat-zat gampingan yang transparan dan berpori. Kebanyakan dari foraminifera plankton mempunyai dinding seperti ini.

 

2.3.6 Jumlah Putaran dan Jumlah Kamar

Mengklasifikasikan foraminifera, jumlah kamar dan jumlah putaran perlu diperhatikan karena spesies tertentu mempunyai jumlah kamar pada sisi ventral yang hampir pasti, sedangkan pada sisi dorsal akan berhubungan erat dengan jumlah putaran. Jumlah putaran yang banyak umumnya mempunyai jumlah kamar yang banyak pula, namun jumlah putaran itu juga jumlah kamarnya dalam satu spesies mempunyai kisaran yang hampir pasti. Pada susunan kamar trochospiral jumlah putaran dapat diamati pada sisi dorsal, sedangkan pada planispiral jumlah putaran pada sisi ventral dan dorsal mempunyai kenampakan yang sama.

Cara menghitung putaran adalah dengan menentukan arah perputaran dari cangkang. Kemudian menentukan urutan pertumbuhan kamar-kamarnya dan menarik garis pertolongan yang memotong kamar 1 dan 2 dan pula menarik garis tegak lurus yang melalui garis pertolongan pada kamar 1 dan 2.

 

Gambar 2.3 Jumlah Putaran dan Jumlah Kamar

 

2.3.7 Aperture

Aperture adalah lubang utama dari test foraminifera yang terletak pada kamar terakhir. Khusus foraminifera plankton bentuk aperture maupun variasinya lebih sederhana. Umumnya mempunyai bentuk aperture utama interiomarginal yang terletak pada dasar (tepi) kamar akhir (septal face) dan melekuk ke dalam, terlihat pada bagian ventral (perut).

Macam-macam aperture yang dikenal pada foraminifera plankton:

  • Primary Aperture Interiomarginal, yaitu:
  1. Primary Aperture Interimarginal Umbilical, adalah aperture utama interiomarginal yang terletak pada daerah umbilicus atau pusat putaran. Contoh: Globigerina
  2. Primary Aperture Interimarginal Umbilical Extra Umbilical, adalah aperture utama interiomarginal yang terletak pada daerah umbilicus melebar sampai ke peri-peri. Contoh: Globorotalia
  3. Primary Aperture Interimarginal Equatorial, adalah aperture utama interiomarginal yang terletak pada daerah equator, dengan ciri-ciri dari samping kelihatan simetri dan hanya dijumpai pada susunan kamar planispiral. Equator merupakan batas putaran akhir dengan putaran sebelum peri-peri. Contoh: Hastigerina
  • Secondary Aperture / Supplementary Aperture

Merupakan lubang lain dari aperture utama dan lebih kecil atau lubang tambahan dari aperture utama. Contoh: Globigerinoides

  • Accessory Aperture

Merupakan aperture sekunder yang terletak pada struktur accessory atau aperture tambahan. Contoh: Catapsydrax

Primary Aperture Interimarginal Equatorial
Primary Aperture Interimarginal Umbilical
Primary Aperture Interimarginal Umbilical Extra Umbilical

 

 

Gambar 2.4 Macam-macam bentuk Aperture Foraminifera

 

 

2.3.8 Ornamen

Ornamen adalah aneka struktur mikro yang menghiasi bentuk fisik cangkang foraminifera. Hiasan ini merupakan cerminan dari upaya mikroorganisme ini dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. Berdasarkan letaknya hiasan dapat dibagi menjadi:

Berdasarkan letak hiasannya dapat dibagi mejadi :

  1. Pada suture antara lain
  • Suture bridge (bentuk suture yang menyerupai jembatan), contohnya    Sphaeroidinella dehiscens

Gambar 2.5 Sphaeroidinella dehiscens

  • Suture limbate (bentuk suture yang tebal), contohnya Globotruncana angusticarinata.
  • Retral processes (bentuk suture zig-zag), contohnya Elphidium incertum.

 

Gambar 2.6 Elphidium incertum

 

 

  • Raised bosses (bentuk suture benjol-benjol), contohnya Globotruncana calcarat.

 

Gambar 2.7 Globotruncana calcarat.

 

 

  1. Pada umbilicus, antara lain:
  • Depply umbilicus (umbilicus yang berlubang dalam), contohnya Globoquadrina dehiscens.

 

 

 

 

 

Gambar 2.8 Globoquadrina dehiscens

 

 

  • Open umbilicus (umbilicus yang terbuka lebar), contohnya Spaerodinella dehiscens.

 

 

 

 

Gambar 2.9 Spaerodinella dehiscens

 

 

  • Umbilical flap (umbilicus yang mempunyhai penutup), contohnya Robulus sp.

 

 

 

Gambar 2.10 Robulus sp

 

 

  • Ventral umbo (umbilicus yang menonjol di permukaan), contohnya

 

 

 

Gambar 2.11. Cibicides.

 

 

  1. Pada peri-peri antara lain
  • Keel (lapisan tipis dan bening), contohnya Globorotalia menardi.

 

 

Gambar 2.12. Globorotalia menardi

 

 

  • Spine (bentuk menyerupai duru), contohnya Hantkenina alabamensis.

 

 

Gambar 2.13. Hantkenina alabamensis

 

 

  1. Pada aperture antara lain
  • Lip/rim (bibir aperture yang menebal), contohnya Globogerina nepenthes.

 

 

Gambar 2.14. Globogerina nepenthes.

 

 

  • Flap (bentuk menyerupai anak lidah), contohnya Globoquadrina dehiscens.

 

 

Gambar 2.15.Globoquadrina dehiscens.

 

 

  • Tooth (bentuk menyerupai gigi), contohnya Globorotalia nana.

 

 

Gambar 2.16. Globorotalia nana.

 

 

  • Bulla (bentuk segi enam yang teratur), contohnya Catapydrax dissimilis

 

 

Gambar 2.17. Catapydrax dissimilis

 

 

  • Tegilla (bentuk yang tak teratur), contohnya Catapsydrax stainforty.

 

 

Gambar 2.18. Catapsydrax stainforty

 

 

  1. Pada permukaan test
  • Smooth (permukaan yang licin), contohnya Pulleniatina primalis.

 

 

 

Gambar 2.19. Pulleniatina primalis.

  • Punotate (permukaan bintik-bintik), contohnya Orbulina bilobata

 

 

Gambar 2.20 Orbulina bilobata

 

 

  • Reticulate (permukaan seperti sarang madu), contohnya Hedbergelina washitensis.

 

 

Gambar 2.21. Hedbergelina washitensis.

 

 

  • Pustulose (permukaan dengan tonjolan-tonjolan bulat), contohnya Rugoglobigerina rotundata.
  • Canceliate (permukaan dengan tonjolan yang memenjang), contohnya Rugoglobigerina rugosa.

 

Gambar 2.22. Rugoglobigerina rugosa

 

 

  • Axial costae (permukaan dengan garis searah sumbu), contohnya Amphicoryna separans.
  • Spiral costae (permukaan dengan garis searah putaran kamar), contohnya Lenticulina costata.

 

 

Gambar 2.23. Lenticulina costata.

 

 

]

 

BAB III

FORAMINIFERA BENTHOS

 

3.1. Tinjauan umum

Fosil foraminifera benthonik sering dipakai untuk penentuan lingkungan pengendapan, sedangkan fosil foram benthonik besar dipakai untuk penentuan umur. Fosil benthonik ini sangat berharga untuk penentuan lingkungan purba.

Foraminifera benthos adalah salah satu golongan fosil foraminifera yang dikelompokkan berdasarkan cara hidup nya yaitu hidup secara benthonik didasar laut. Kebanyakan dari foram – foram penghuni dasar laut termasuk golongan vagil benthos, yang dapat bergerak di dasar laut dengan menggunakan pseopodia. Disamping bentuk – bentuknya yang vagil juga jenis – jenisnya yang menunjukkan adanya pergerakan pada tingkat permulaan hidupnya dan kemudian menjadi sesile pada tingkat terakhir hidupnya.

Golongan ini hidup di dasar laut mulai dari tepi sampai kedalaman lebih dari 4000 m, cangkang nya terditi dari polythalamus Test dan monothalamus Test. Sedangkan komposisi penyusun cangkangnya terdiri dari aglutin dan arenaceous, umumnya foraminifera jenis ini peka terhadap perubahan lingkungan, karena itu golongna ini sering dipakai sebagai indikator untuk menentukan lingkungan pengendapan.

Dasar laut dapat dibagi menjadi zona – zona bathyametric, yaitu:

  • Zona lithoral : Antara garis pasang dan garis lurus
  • Zona neritik : Antara kedalaman 0 – 200 m
  • Zona bathyal : Antara kedalaman 200 – 4000 m
  • Zona abysal : Antara kedalaman 4000 – 6000 m
  • Zona hadal : Lebih dari 6000 m

Dari setiap zona – zona tersebut biasanya dihuni oleh species – species yang tertentu, karena itulah golongan ini baik untuk penentuan lingkungan pengendapan. Beberapa petunjuk yang dapat dipergunakan:

  • Golongan milliolif yang siliceous, smiliamina fusca, dan jenisaraneceous yang sederhana seperti ammotium jadamina, rhopax dan trochaminam, merupakan populasi didaerah rawa- rawa (Pheleger, 1960. bandy, 1963).
  • Jumlah species menurun dari zona bathyal kearah zona hadal.
  • Jumlah species dan genus naik dari facies paralis menuju kelaut terbuka hingga zona bathyal (Shandy dan Arnal, 1960).
  • Golongan pocellaneous, terutama milliolidae banyak ditemukan di laut – laut tertutup (inshore seas) pada daerah tropis.
  • Pada zona abysal populasi foraminifera gampingan menjadi kurang (minor) bahkan hampir sama sekali tidak ada, sehingga terdiri dari golongan

 

3.1. Contoh fosil foraminifera benthos

 

 

3.2. Paleontologi Umum

Mikro organisme sangat terpengaruh hidupnya oleh lingkungan dimana ia tinggal dalam perjuangan untuk hidupnya, kebanyakan mikro organisme tersebut menjadi sangat terkhususkan dengan kondisi – kondisi tertentu. Maka untuk mengetahui kondisi – kondisi tersebut kita harus mempelajari ilmu ekologi dimana ilmu ini membahas hubungan kehidupan foraminifera dengan lingkungan sekitarnya. Foraminifera benthos yang hidup di dasar laut.

Adapun beberapa kondisi yang mempengaruhi kehidupan mikro organisme yang hidup di air laut (foraminifera, nano plankton, dan sebagainya) adalah :

  • Temperatur air laut, nlai rata – rata -2 sampai 420C untuk lautan dan +350C untuk lautan tertutup.
  • Air tawar salinitasnya < 0.5 %
  • Air payau salinitasnya 0.5 – 3 %
  • Air agak asin salinitasnya 3 – 30 %
  • Salinitas/ kadar garam (33 s/d 39 % untuk lautan terbuka)
  • Untuk salinitas ekstrim 40 – 41 %
  • Turbulensi/ gelombang air.
  • Turbidit dan kekeruhan air laut.
  • Asal sedimen, ukuran butir stabilitas dan kecepaan sedimentasi.
  • Aspek geologi tertentu seperti vulkanisme.
  • Jumlah makanan yang tersedia.
  • Dominasi jenis – jenis yang lebih kuat akan mempengaruhi perbandingan dari pada mikro organisme yang ada pada suatu tempat.
  • Pada daerah perairan tropis golongan ini banyak dan jenisnya sangat berbeda
  • Didaerah perairan dengan iklim sedang populasi dari foraminifera jarang tetapi jenisnya berbeda – beda
  • Diperairan sub – kutub jenisnya sangat sedikit tetapi jumlahnya sangat banyak

 

 

3.3. Tata Cara Pendiskripsian

Untuk mendeskripsikan foraminifera benthos sama dengan pendeskripsian foraminifera plankton dalam beberapa hal seperti bentuk Test, bentuk kamar, dinding cangkang atau komposisi Test, ornamen (hiasan), bentuk suture, jumlah kamar, dan jumlah putaran kamar.

Namun untuk susunan kamar dan Aperture antara foraminifera benthos dan foraminifera plankton berbeda.

 

3.3.1. Monothalamus Test

Monothalamus Test adalah susunan dan bentuk kamar-kamar akhir foraminifera yang hanya terdiri dari satu kamar. Macam-macam dari bentuk monothalamus Test :

  • Bentuk globular atau bola atau spherical. Terdapat pada kebanyakan subfamily Saccaminidae.

Contoh : Saccamina

  • Bentuk botol (flarkashaped), terdapat pada kebanyakan subfamily Proteonaninae.

Contoh : Lagena

  • Bentuk tabung (tabular), terdapat pada kebanyakan subfamili Hyperminidae.

Contoh : Hyperammina. Bathysiphon

  • Bentuk kombinasi antara tabung dan botol.

Contoh : Lagena

  • Planispiral (uncoiling)

Contoh : Rectocornuspira

  • Zig – zag

Contoh : Lenticulina sp.

  • Radiate

Contoh : Astroshizalimi colasandhal

  • Cabang (bifurcatirtg)

Contoh: Rhabdamina abyssorum

  • Arburescent

Contoh : Dendrophyra crectosa

  • Tak teratur (irregular)

Contoh : Planorbulinoides reticnaculata

  • Setengah lingkaran (hemispherical)

Contoh : Pyrgo murrhina

  • Inverted v-shaped chamber (palmate)

Contoh : Flabellina rugosa

  • Fusiform

Contoh : Vaginulina laguman

  • Pyriform

Contoh : Elipsoglandulina velascoensis

  • Conical (kerucut)

Contoh : Textularia ereosa

  • Semicircular (fanshaped-flabelliform)

Contoh : Pavaninaflabelliformis

Gambar 3.2. Susunan kamar Monothalamust Test pada Foraminifera Benthos.

 

 

3.3.2. Polythalamust Test

Merupakan suatu susunan kamar dan bentuk akhir kamar foraminifera yang terdiri dari lebih satu kamar, misalnya uniserial saja ata biserial saja.

Macam-macam polythalamus Test :

  • Uniformed, terdiri dari :
  • Uniserial, terdiri dari satu macam susunan kamar dan sebaris kamar, terdiri dari :
  • Rectilinier (linier punya leber)
  • Test uniserial terdiri atas kamar- kamar bulat yang dipisahkan satu sarna lain dengan stolonxy neck.
  • Contoh : Siphonogerina, Nodogerina
  • Linier tanpa leber
  • Kamar tidak bulat dan antara kamar yang satu dengan kamar yang lainnya tidak didapat
  • Contoh : Nodosaria
  • Equitant uniserial
  • Test uniserial tidak mempunyai leher, tetapi sebaliknya kamamya sangat berdekatan sehingga menutupi sebagian yang lain.
  • Contoh : Glanduina
  • Curvilinierl uniserial arcuate
  • Test uniserial tapi sedikit melengkung dan garis batas kamar satu dengan yang lainnya atau sutut membentuk sudut terhadap sumbu panjang. Contoh :
  • Coiled Test atau Test yang terputar, macamnya :
  • Planispiral coiled Test

Test yang terputar pada satu bidang datar, di bagi dua, yaitu :

  • Involute

Test yang terputar dengan putaran akhir menutupi putaran yang sebehunnya, sehingga putaran akhir saja yang terlihat. Contoh : Elphidium.

  • Evolute

Test yang terputar dengan seluruh putaramlya dapat terlihat. Contoh: Anomalia.

  • Nautiloid Test

Test yang terputar dengan kamar-kamar di bagian umbilical (ventral) menumpang satu sarna lain, sehingga kelihatan karnar kamarnya lebih besar peri-peri daripada di bagian Umbilicus. Contoh : Nonion.

  • Rotaloid Test

Test yang terputar tidak pada satu bidang, dengan posisi pada dorsal seluruh putaran terlihat, sedang pada ventral hanya putaran terakhir yang terlihat. Susunan kamar ini disebut juga Low Trochospiral. Contoh : Rotalia.

  • Helicoid Test

Test yang terputar meninggi, dimana lingkarannya dengan cepat menjadi besar. Terdapat pada subfamily Globigerinidae (plankton). Susunan kamar ini disebut juga High Trochospiral. Contoh : Globigerina

  • Biserial, Test yang tersusun dua baris kamar yang terletak berselang-seling. Contoh: Textularia
  • Triserial, Test yang tersusun oleh tiga baris kamar yang terletak berselang- seling. Contoh : Uvigerina, Bulimina
  • Biformed Test

   Biformed Test merupakan dua macam susunan kamar yang sangat berbeda satu dengan yang lain dalam satu buah Test, misalnya biserial pada awalnya kemudian menjadi uniserial pada akhirnya. Contoh : Bigerina

  • Triformed Test

Triformed Test merupakan tiga bentuk susunan kamar dalam sebuah Test, misalnya permulaan biserial kemudian berputar sedikit dan akhirnya menjudi uniserial. Contoh: Vulvulina

  • Multiformed Test

Dalam sebuah Test terdapat > 3 susunan kamar. Bentuk ini sangat jarang ditemukan.

 

 

Gambar 3.3. Susunan kamar Polythalamust Test pada Foraminifera Benthos.

 

 

3.4. Aperture

Aperture foraminifera benthos dengan foraminifera plankton berbeda. Aperture foraminifera benthos dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :

  • Aperture yang bulat sederhana.

Berbentuk bulat, sederhana, biasanya terletak pada ujung kamar akhir.

Contoh : Lagena dan Bathysipon.

Aperture yang memancar (radiate).

Merupakan sebuah lubang yang bulat dengan golongan-golongan yang memancar dari pusat lubang.

Contoh : Nodosaria dan Dentalina.

  • Aperture Phialine.

Merupakan lubang bulat, mempunyai bibir (lip) dan leher (neck).

Contoh : Uvigerina dan Amphikoryna.

  • Aperture Crescentik.

Berbentuk tapal kaki kuda atau busur panah..

Contoh : Nodosarella dan Pleurostomella.

  • Aperture Virguline dan Bulimine.

Berbentuk seperti koma (,) yang melengkung.

Contoh : Virgulina dan Bulimina.

  • Aperture yang slit-like.

Merupakan Aperture yang membentuk lubang sempit yang memanjang.

Contoh : Sphaeroidinella dan Pullenia.

  • Aperture Ectosolenia.

Aperture yang memiliki leher yang pendek.

Contoh : Ectosolenia dan Oolina.

  • Aperture Entosolenia.

Aperture yang mempunyai leher dalam (internal neck).

Contoh : Fissurina dan Entosolenia.

  • Aperture Multiple, Cribrate, Accesory.

            Aperture yang terdiri dari beberapa lubang bulat dan kadang-kadang membentuk saringan (cribrate) atau terdiri dari satu lubang utama dan beberapa lubang bulat yang lebih kecil (accesory).

Contoh : Elphidium dan Cribrostomu.

  • Aperture

Berbentuk seperti ranting pohon (dendrit) terletak pada “septal-face”.

Contoh : Dendritin.

 

  • Aperture yang bergerigi.

Berbentuk lubang yang melengkung dimana didalamnya terdapat tonjolan menyerupai gigi (single tooth, bifid tooth).

Contoh : Pyrgo dan Quinquelokulina.

  • Aperture yang berhubungan dengan Umbilicus.

Biasanya merupakan lubang yang berbentuk busur, ceruk ataupun persegi kadang-kadang dilengkapi dengan bibir (lip), gigi-gigi atau ditutupi dengan selaput tipism (bulla).

Contoh : Globigerina, Globoquadrina dan Globigerinita.

 

Gambar 3.4. Jenis-jenis Aperture pada Foraminifera Benthos.

 

3.5. Morfologi Monothalamust Test

Monothalamus Test merupakan susunan kamar dan bentuk akhir kamar – kamar foraminifera yang terdiri dari 1 (satu) kamar. Bentuk ini dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :

  • Bentuk globular atau bola

Contoh : Pilulina, Saccammina, Psammos phaera.

  • Bentuk botol (flask shaped)

Contoh : Lagena.

  • Bentuk tabung

Contoh : Hyperammina, Bathysiphon.

  • Bentuk kombinasi botol dan tabung

Contoh : Entosolenis.

  • Bentuk yang terputar pada satu bidang (planispiral coiled)

Contoh : Cornuspira, Ammodiscus.

  • Bentuk planispiral pada awalnya kemudian terputar tidak teratur

Contoh : Psammaphis, Orthover tella.

  • Bentuk planispiral kemudian lurus .

Contoh : Rectocornuspira.

 

3.6. Morfologi Polythalamust Test

Polythalamust Test merupakan susunan kamar dan bentuk akhir kamar-kamar foraminifera benthos yang tediri dari lebih dari satu kamar (biasanya jumlah kamar banyak). Jenis-jenis bentuk polythalamust Test, yaitu :

a.       Uniformed Test

Test yang terdiri dari 1 susunan kamar. Bentuk ini dibagi menjadi beberapa yaitu :

Ø Uniserial

Test yang terdiri dari satu macam susunan kamar dan sebaris kamar.

  • Rectilinier (linier mempunyai leher), Test uniserial terdiri atas kamar – kamar bulat yang dipisahkan satu sama lainnya dengan stolon (neck).

Contoh : Nodosaria, Siphonogerina.

  • Linier tanpa leher, kamar tidak bulat dan antara kamar satu dengan yang lainnya tidak ada

Contoh : Nodosaria.

  • Equitant uniserial, Test uniserial tidak mempunyai leher tetapi kamar-kamarnnya sangat berdekatan sehingga yang satu menutupi bagian yang lain.

Contoh : Glandulina, Frondicularia.

  • Curvilinier, Test uniserial yang sedikit melengkung dan garis suture membentuk sudut terhadap sumbu panjang.

Contoh : Dentalina.

  • Coiled Test (Test yang terputar) yang terdiri dari :
  • Planispiral coiled Test, Test uniserial dimana semua putaranlingkarannya terletak pada satu bidang yang sama.

Contoh : Endhotyra, Hastigerina.

Test ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :

  • Involute : Test yang terputar dimana putaran yang terakhir menutupi putaran yang sebelumnya sehingga hanya putaran yang terakhir yang terlihat.

Contoh : lenticulina, Elphidium, Robulus.

  • Evolute : Test yang terputar dimana seluruh putaran dapat terlihat.

Contoh : Operculina.

  • Nautiloid Test, Test yang terputar dimana kamar – kamar dibagian      Umbilicus menumpang satu sama lain

Contoh : Nonion, Saracenaria, Planularia.

  • Rotaloid Test, Test yang terputar tidak pada satu bidang dimana pada sisi dorsal seluruh putaran terlihat sedang pada sisi ventral hanya putaran terakhir yang terlihat.

Contoh : Rotalia, Cibicides.

  • Helicoid Test, Test yang terputar meninggi dimana lingkaran dengan cepat menjadi besar.

Contoh : Globigerina.

Ø Biserial Test

Test yang tersusun dari 2 (dua) baris kamar yang terletak berselang- seling .

Contoh : Textularia, Bolivia.

Ø Triserial

Test yang terdiri dari 3 (tiga) baris kamar yang terletak berselang-seling.

Contoh : Unvigerina, Bulimina.

  1. Biformed Test

Dua macam susunan kamar yang sangat berdeda satu sama lainnya dalam sebuah Test., misalnya biserial pada awalnya kemudian menjadi uniserial pada akhirnya.

Contoh : Bigerina

  1. Triformed Test

Dalam sebuah Test terdapat 3 (tiga) buah susunan kamar, misalnya awalnya biserial kemudian terputar sedikit dan akhirnya menjadi uniserial.

Contoh : Vulvulina.

d . Multiformed Test

Dalam sebuah Test terdapat lebih dari 3 (tiga) buah susunan kamar. Bentuk seperti ini sangat jarang dijumpai.

 

 

 

 

 

BAB IV

MENENTUKAN UMUR DAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN

 

4.1. Menentukan Umur Dengan Menggunakan Foraminifera Plankton

Disamping jumlah genus sedikit, plankton sangat peka terhadap perubahan kadar garam, hal ini menyebabkan hidup suatu spesies mempunyai kisaran umur yang pendek sehingga baik untuk penciri umur suatu lapisan batuan.
Biozonasi foraminifera planktonik yang populer dan sering digunakan di Indonesia adalah Zonasi Blow (1969), Bolli (1966) dan Postuma (1971).

Pada zaman tersier dibagi menjadi beberapa bagian – bagian yang lebih kecil, diamana pada zaman tersier bawah (Paleogen) dinotasikan dengan huruf “P” kemudian didepan huruf tersebut diberikan indeks angka “1” untuk paleogen tertua yang kemudian berturut 2,3,4,5,…. Hingga 19 untuk Paleogen termuda.

Tersier atas (neogen) dinotasikan dengan huruf “N” yang juga diberikan angka indeks mulai dari 21 untuk yang termuda hingga 1 untuk yang tertua serta N23 dan N22 untuk Pleistocene. Adapun tahapan dalam penentuan umur dengan memnggunakan foraminifera plankton adalah sebagai berikut :

  • Pengambilan sampel di lapangan yang kemudian melakukan penyajian fosil.
  • Pengmatan dibawah mikroskop untuk mengamati species-species yang ditemukan dan memisahkannya.
  • Menentukan umur dari setiap species yang ditemukan
  • Memasukkan umur serta species kedalam tabel umur

Untuk melihat umur dari lapisan batuannya kita melihat kolom yang paling banyak yang dipotong oleh garis umur. Seperti ditemukan batuan yang memiliki kandungan fosil foraminifera plankton yang dominan berumur Middle Miocene, maka dapat dipastikan batuan tersebut berumur Middle Miocene.

Penentuan umur suatu batuan ditentukan oleh kandungan fosil foraminifera plankton yang terdapat dalam batuan tersebut bukan dari kandungan foraminifera benthos (kecuali foram besar). Untuk penetuan umur kita juga dapat menggunakan fosil dari foram besar, metode ini disebut juga dengan klasifikasi huruf Tersier yang diajukan oleh Van Der Vlerk dan Umgrove pada tahun 1927. Pada klasifikasi ini zaman tersier juga dinotasikan dengan huruf “ T ” namun dibagi dengan indeks huruf dimana huruf “a” untuk tersier tertua kemudian beturut hingga “h” yang menandakan tersier yang termuda. adapun tahapan dari klasifikasi ini adalah:

  • Pengambilan sampel dilapangan yang kemudian melakukan penyajian fosil dengan cara melepaskan fosil tersebut dari batuan dan menyayat tipis fosil (0.05 mm) lalu menenpelkannya di plat kaca yang kemudian diamati dibawah mikroskop. Bila fosilnya sulit dilepaskan dari batuan maka Penamaan fosil dapat dicari dengan penamaan genus dan species yang ada
  • Menentukan umur dari setiap genus species yang ditemukan dalam range chart yang dibuat oleh Adam, 1970.
  • Memasukkan umur serta species ke dalam tabel umur
  • Kolom yang terbanyak dipotong oleh garis umur adalah umur dari batuan tersebut.

 

4.2. Menetukan Lingkungan Pengendapan Dengan Menggunakan Foraminifera Benthos

Lingkungan pengendapan adalah suatu kumpulan dari kondisi fisika, kimia, dari biologi dimana sedimen terakumulasi (Krumbein & Sloss, 1963). Selain tersabut di atas banyak pula para ahli yang mengemukakan tentang definisi lingkungan pengendapan antara Selly, 1978, mendefinisikan suatu keadaan dipermukaan bumi yang disebabkan olen interaksi antara faktor-faktor fisika kimia dan biologi dimana sedimen tersebut diendapkan.

Dipakai sebagai penentu umur relatif karena umumnya mempunyai umur pendek sehingga sangat baik sebagai fosil penunjuk lingkungan pengendapan. Penentuan umur berdasarkan foraminifera besar, khususnya di Indonesia biasanya menggunakan Klasifikasi Huruf, antara lain klasifikasi huruf yang dikemukakan oleh Adams (1970).

Foraminifera benthos sangat bagus dalam pengaplikasiannya untuk menentukan lingkungan penendapan. Dikarenakan golongan ini umumnya hidup pada dasar laut mulai dari tepi sampai kedalaman lebih dari 3000 meter. Dimana foraminifera benthos ini sangat peka terhadap perubahan lingkungan, sehingga golongan ini sangat akurat dipakai sebagai indikator untuk menentukan lingkungan pengendapan.

Tahapan kerjanya adalah sebagai berikut :

  • Pengambilan contoh (sampel) di lapangan masih sama dengan di atas beserta penyajian fosilnya.
  • Pengamatan di bawah mikroskop, mengamati macam species yang kemudian dipisah-pisahkan.
  • Setelah diketahui macam spesiesnya, kemudian tiap spesies dicari kisaran lingkungan pengendapannya.
  • Lingkungan pengendapan adalah kolom terbanyak yang terpotong oleh garis penentuan lingkungan pengendapan.

Secara umum foraminifera benthos ini digunakan sebagai fosil index untuk menentuakan lingkungan pengendapan. Organisme dalam hidupnya dibatasi oleh suatu lingkungan, dimana organisme tersebut dapat beradaptasi. Dengan demikian fosil dapat dipergunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan. Syarat: fosil terendapkan pada lingkungan dimana dia hidup (bioconoese ), lingkungan hidupnya sempit dan mudah dikenali. Lingkungan Pengendapan yaitu Darat, meliputi gurun, sungai, danau, dan sebagainya. Sedangkan laut, meliputi yaitu pantai, rawa, laut dangkal (neritik).

 

 

 

 

 

BAB V

FORAMINIFERA BESAR

 

5.1. Tinjauan Umum

Foraminifera besar merupakan bagian yang dapat dengan mudah dipisahkan secara fisik dari golongan foraminifera kecil (planktonik dan bentonik). Di samping ukurannya yang berbeda, juga struktur kamar bagian dalamnya lebih rumit dan kompleks sehingga memerlukan suatu preparasi khusus (dengan sayatan tipis) dan observasi yanmg khusus pula (mempergunakan sinar transmisi). Golongan ini merupakan penyusun batuan yang penting dan sebagian besar merupakan unsur pembentuk batugambing atau gamping terumbu. Dengan demikian untuk study tentang batuan karbonat klastik kasar maka foraminifera besar memegang peranan penting dalam penentuan ekologi pengendapannya. Yang perlu diperhatikan dalam pengamatan foraminifera besar adalah jenis sayatan tipis yang dilakukan pada saat preparasi. Karena jenis sayatan sangat mempengaruhi kenampakan fisik kamar-kamar bagian dalam fosil tersebut.

Beberapa jenis sayatan tipis yang mungkin terdapat dalam observasi foraminifera besar dapat dilihat pada gambar berikut.

 

Gambar 5.1. Kenampakan umum pada beberapa jenis sayatan tipis pada cangkang Orbitoid (Glaessner, 1944).

Keterangan :

  • Sayatan median (ekuatorial, horizontal) adalah sayatan yang melalui bagian tengah secara horizontal. Biasanya merupakan bentuk lingkaran.
  • Sayatan vertikal atau transversal adalah sayatan yang melalui bagian tengah yang dipotong secara vertikal. Biasanya membentuk ellips yang cembung di bagian tengah
  • Sayatan oblique adalah sayatan sembarang yang tidak melalui bagian tengah fosil tersebut. Biasanya membentuk ellips yang
  • Sayatan tangensial adalah sayatan yang sejajar dengan sayatan median, tetapi tidak melalui bagian tengahnya. Biasanya berbentuk lingkaran yang lebih kecil dari sayatan median.

Dari jenis-jenis sayatan ini pengamatan mengenai struktur bagian dalam dari kamar-kamar foraminifera besar dapat dilakukan di bawah mikroskop binokuler dengan sinar transmisi. Beberapa bagian penting dan istilah-istilahnya dapat dilihat pada gambar berikut:

 

 

Gambar 5.2. Struktur dalam kamar foraminifera besar golongan Orbitoides,

Lepidorbitoides, dan Lepidocyclina (Bignot, 1982).

 

5.2. Morfologi Foraminifera Besar 

Morfologi foraminifera besar dapat dibedakan atas beberapa golongan antara lain:

5.2.1. Golongan Orbitoidae

Golongan ini mempunyai Test besar, lenticular atau discoidal, biconcave, berkamar banyak dimana hubungan anatara kamar – kamarnya dilakukan dengan stolon (pori – pori yang berbentuk tabung), dinding lateral nya berpori dan tebal, dimana terdapat kamar – kamar lateral dan pilar – pilar.

Untuk bentuk yang megalosfeer, kamar utamanya terdiri dari :

  1. Kamar Embrionik

Kamar embrionik atau initial chamber atau nucleoconch merupakan kamar permulaan yang tersususn dari beberapa inti. Berdasarkan jumlah dan kedudukan inti tersebut dapat dibedakan beberapa bentuk, yang akan membedakan penamaan sub – genusnya

 

Gambar 5.3 Kamar embrionik golongan Orbitoididae. (Komposisi dari Glaesser,

1994 dan Moore R.C; et al, 1952).

 

Dari susunan inti – intinya, nucleoconch dapat berbentuk:

  • . Bilocular, terdiri dari protoconch dan
  • Beberapa deuteroconch lebih kecil dan mengelilingi protoconch yang disebut polylepidina. Biasanya terdapat pada bentuk yang
  • Deuteroconch sama besar dengan protoconch atau disebut dengan isolepidina atau sebagai lepidocyclina.
  • Deuteroconch lebih besar dari protoconch dan menutupi sebagian yang disebut
  • Deuteroconch besar sehingga melingkupi seluruh protoconch yang dikatakan dalam eulepidina dan
  • . Trilocular, terdiri dari 3 nucleoconch yaitu
  • . Quadrilocular, terdiri dari 4 necleoconch yang juga disebut orbitoides.
  1. Kamar Nepionik

Kamar nepionik atau pery-embrionik chamber merupakan kamar – kamar yang mengelilingi kamar embrionik, terletak antara kamar embrionik dan kamar-kamar post nepionik. Berdasarkan letak dan susunan kamar nepionik dapat digunakan untuk klasifikasi golongan ortoididae (Tan Sin Hok, !932).

C  Kamar Post Nepionik

Kamar post-nepionik atau median or equatorial chamber merupakan kamar yang terbentuk setelah kamar nepionik. Pada sayatan horizontal, kamar ini, dapat mempunyai bentuk yang bermacam – macam, seperti rhombic, hexagonal, spatulate, arcuate, ogival.

 

Gambar 5.4. Bentuk kamar post-nepionik pada golongan Orbitoididae pada sayatan

horizonta (Glaessner, 1944). a , rhombic; b. Hexagonal; c. Spatulate;

  1. Arcuate; e. Ogival.
  2. Kamar Lateral

Kamar foraminifera besar berupa rongga – rongga yang letaknya teratur, terletak diatas dan dibawah lapisan tengah (median layer). Pada genus lepidocyclina, kamar lateral ini dapat berbentuk lensa, menyudut atau membulat.

 

Gambar 5.5. Bentuk kamar lateral pada Lepidocyclina (Glaessner, 1944).

Keterangan :

  1. lenticular (sayatan vertikal)
  2. angular (sayatan vertikal)
  3. anular pada pillar-pilar (sayatan – tangensial)
  4. rounded (sayatan tangensial)

 

 

Gambar 5.6. Sayatan horizontal dan vertikal genus Lepidocyclina.

Keterngan :

Sayatan horizontal :

  • Kamar embrionik jelas terlihat dengan protoconch dan
  • Kamar post-nepionik halus, dapat berbentuk rhombik atau hexagonal dan sebagainya.
  • Septa kadang-kadang terlihat (tidak tegak lurus arah putaran)
  • Diameter 1-70 mm.

Sayatan vertikal :

  • Kamar – kamar simetris dan jelas.
  • Kamar median menyempit kearah pusat (embrionik) atau melebar ke arah tepi (periphery).

 

5.2.2. Golongan Camerinidae

  1. Sub Family Camerininae (Nummlites, Pellatispira, Operculina, Operculinoides, Assilina).

     Bentuk Test pada umumnya besar, lenticular, discoidal, planispiral, dan bilateral simetris. Test terbuat dari zat gampingan yang tersusun secara radial. Beberapa jenis sayatan tipis pada golongan ini menunjukkan kenampakan yang berbada-beda.

 

Gambar 5.7. Kenampakan umum beberapa jenis sayatan tipis golongan

Camerinidae (Glaessner, 1944).

  1. Morfologi genus Nummulites

Gambar 5.8. Sayatan horizontal (a) dan vertical (b) genus Nummulites.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

  • Jumlah putaran kamar 5-40 kali, terputar secara perlahan.
  • Septa agak membengkok kearah periphery.
  • Diameter 1,5-35 mm.

Sayatan vertikal :

Test involute, dimana jarak antar kamar hampir sama.

  1. Morfologi genus Pellatispira

Gambar 5.9. Sayatan horizontal (a) dan vertikal (b) genus Pellatispira.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

  • Jumlah putaran sedikit 4-6 kali.
  • Dinding batas putaran tebal, membentuk saluran atau kanal-kanal.
  • Diameter 1-5 mm.

Sayatan vertikal :

Test involute, pillar-pillar jelas terlihat

 

  1. Morfologi genus Operculina atau Operculinoides

 

Gambar 5.10. Sayatan horizontal (a) dan vertical (b) genus Operculina atau Operculinoides.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

  • Jumlah putaran sedikit, 3-4 kali.
  • Tinggi kamar makin cepat membesar keluar.
  • Dinding batas putaran tebal, membentuk kanal-kanal.

Sayatan vertikal :

  • Test involute, dimana batas-batas kamar tidak sama, semakin membesar ke arah peri-phery .
  1. Morfologi genus Assilina

 

Gambar 5.11. Sayatan horizontal (a) dan vertikal (b) genus Assilina.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

– Hampir sama dengan kenampakan nummulites.

– Jumlah putaran 4-10 kali.

– Septa lebih tegak dari pada nummulites.

– Diameter 2-35 mm.

Sayatan vertikal :

– Test involute.

– Sangat pipih

  1. Sub Famili Heterostegininae (Heterostegina, Spiroclypeus, Cyclo Clypeus)

                 Bentuk Test umumnya lenticular, discoidal, planispiral, dinding licin, kadang-kadang granulated, genus-genus tertentu tidak mempunyai kamar-kamar lateral .

  1. Morfologi genus Heterosteg

 

Gambar 5.12. Sayatan horizontal (a) dan vertikal (b) genus Heterostegina.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

– Putaran kamar sedikit, dimana septa-septa saling memotong.

– Putaran kamar awal involute (saling menutupi) dan pada putaran kahir menjadi evolute.

– Putaran kamar menjadi cepat membesar keluar dan melengkung.

– Diameter 2-12 mm.

Sayatan vertikal :

– Bentuk sayatan pipih memanjang.

– Kamar median terpotong oleh septa kamar lateral tidak jelas.

  1. Morfologi genus Spiroclypeus

Gambar 5.13. Sayatan horizontal (a) dan vertikal (b) genus Spiroclypeus.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

– Sangat mirip dengan heterostegina sehingga sangat sulit membedakan keduanya dengan sayatan horizontal.

– Diameter 2,5-30 mm.

Sayatan vertikal :

– Merupakan kebalikan dari sayatan vertikal lepidocylina; dimana kamar median membesar ke arah pusat dan mengecil kearah tepi.

– Kamar lateral dapat jelas dan berkembang baik.

– Dinding tebal terpotong oleh septa kamar lateral tidak jelas.

  1. Morfologi genus Cycloclypeus

Gambar 5.14. Sayatan horizontal (a) dan vertikal (b) genus Cycloclypeus.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

– Embrionik kadang jelas terlihat.

– Kamar nepionik tersusun secara konsentris (sangat penting untuk genus ini )

– Septa hampir tegak lurus arah putaran, berbentuk stolon.

Sayatan vertikal :

– Dibagian tepi, datar dan dibagian tengah cembung (menonjol)

– Dapat mempunyai beberapa tonjolan (subgenus katacycloclypeus).

– Tidak mempunyai kamar lateral .

 

5.2.3. Golongan Discochinidae

            Golongan discocyclinidae (discocyclina) merupakan cangkang discoidae atau lenticular. Pada bentuk megalosfeer, kamar embrionik biasanya biloculer, sedang pada bentuk mikrosfer, kamar embrionik terputar secara planispiral. Mempunyai septa sekunder yang membatasi kamar lateral .

Gambar 5.15. Kenampakan umum sayatan vertikal Discocyclina (Ia)

dan sayatan horizontal (Ib). (Moore R.C, 1964).

Keterangan :

Sayatan horizontal :

– Kamar embrionik kadang jelas terlihat.

– Kamar post nepionik tidak beraturan.

– Bila septa terlihat, maka biasanya septa tegak lurus arah putaran dengan                  kedudukan yang rapat dan konsentris.

– Diameter 1-60 mm.

Sayatan vertikal :

– Kamar lateral tidak jelas atau tidak ada.

– Kamar median berupa garis tipis atau sangat sempit.

– Kadang – kadang pillar dapat terlihat jelas.

 

5.2.4. Golongan Miogypsinidae

Bentuk Test pipih, segitiga atau asimetris, kamar embryonik bilocular terletak dipinggir (eksentris) atau di puncak (apical) terdiri dari protoconch dan deuteroconch yang hampir sama besar. Kamar embrionik ini seluruhnya dikelilingi oleh kamar – kamar nepionik. Kamar median berbentuk rhombik atau hexagonal .

  1. Morfologi genus Miogipsina

Gambar 5.16. Sayatan horizontal (a) dan vertikal (b) genus Miogipsina.

Keterangan :

Sayatan horizontal :

  • Kamar embrionik terletak di pinggir.
  • Kamar nepionik/post nepionik berbentuk rhombik atau hexagonal seperti jala.
  • Diameter 1-10 mm.

Sayatan vertikal :

  • Kamar lateral
  • Pillar jelas.

       Untuk genus dari paleozoic atas dan Mesozoic dapat dilihat pada golongan endothyridae (fusulinidae).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5.17. Beberapa contoh sayatan foraminifera besar paleozoik atas

dan Mesozoik (Jones, 1956).

 

 

5.3. Menentukan Umur Dengan Menggunakan Foraminifera Besar.

       Metode ini sering juga disebut “Klasifikasi Huruf Tersier”, diajukan oleh Vander Vlerk dan Umgrove, 1927.

Tersier tertua di bagi menurut abjad/huruf, mulai dengan huruf “a” (Ta) untuk tersier tetua, kemudian berturut-turut yang lebih muda Tb, Tc, Td, Te, Tf, Tg dan Th untuk tersier termuda.

  1. Pengambilan contoh atau sampel di lapangan masih sama dengan foraminifera kecil, kemudian cara penyajian fosil ada dua macam yaitu:
  • Fosil foraminifera besar di lepas dari batuan lalu disayat tipis 90.005 mm, kemudian ditempel pada plate kaca, barulah bisa di amati di bawah mikroskop.
  • Bila batunya cukup keras dan tak mungkin fosilnya di lepas, maka batuannya yang disayat kemudian di amati dibawah mikroskop.
    1. Pengamatan di bawah mikroskop, diamati dibawah mikroskop.
    2. Masing – masing genus atau species dicari dari kisaran umumnya dalam range chart yang dibuat oleh Adam,1970.
    3. Membuat tabel genus atau species dan kisaran umumnya.
    4. Umur batuan adalah kolom terbanyak terpotong oleh garis umur.

Pada umumnya, foraminifera besar digunakan sebagai fosil index untuk menentukan umur suatu batuan.

 

 

 

 

 

BAB VI

KESIMPULAN

 

6.1. Kesimpulan

       Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil penulis selama menjalani praktikum, antara lain:

  1. Foraminifera adalah organisme bersel tunggal (protista) yang mempunyai cangkang atau test (istilah untuk cangkang internal).
  2. Penelitian tentang fosil foraminifera mempunyai beberapa penerapan yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan mikropaleontologi dan geologi. Fosil foraminifera bermanfaat dalam biostratigrafi, paleoekologi, paleobiogeografi, dan eksplorasi minyak dan gas bumi.
  3. Fosil ukurannya lebih dari 5 mm namun ada yang berukuran sampai 19 mm seperti genus fusulina yang memiliki cangkang- cangkang yang dimiliki organisme, embrio dari foil-fosil makro serta bagian-bagian tubuh.
  4. Dalam membedakan foraminifera yang satu dengan yang lainnya harus memperhatikan bentuk test, susunan kamar, bentuk kamar, ornament , suture dan
  5. Dlam menentukan suatu umur batuan menggunakan fosil dapat dilaukan dengan melihat fosil muncul akhir dan punah awal.
  6. Masalah – masalah geologi yang menghubungkan dengan umur suatu batuan sampai sekarang masih mempergunakan foraminifera planktonik di samping juga mengunakan metode – metode lain yang lebih teruji dan lebih tepat.
  1. Forminifera plankton umumnya hidup secara pellagic dilingkungan laut neritik (0-200 m), sedangkan foraminifera benthonic umumnya hidup secara sessile (menambatkan) atau vagile (merayap) pada lingkungan laut yang lebih dalam (abysal atau bathyal).
  2. Fosil foraminifera plankton digunakan sebagai fosil index untuk zaman tersier dan kwarter, hal ini dapat ditandai karena fosil-fosil ini sangat melimpah pada zaman tersebut. Oleh karena itu, fosil ini sangat akurasi dalam menentukan umur suatu lapisan dari pada batuan.
  3. fosil foraminifera benthos digunakan sebagai fosil index untuk penentuan lingkungan pengendapan, hal ini dikarenakn fosil – fosil benthos ditemukan disemua lingkungan laut dan juga karena penyebarannya yang bersifat vertikal.
  4. fosil foraminifera besar juga digunakan sebagai indikasi dalam penentuan umur batuan. Hal ini disebabkan karena sifat penyebaran fosil bersifat lateral. Dimana fosil ini sangat bagus dalam mendeteksi umur cebakan migas untuk selanjutnya dapat dilakukan pengeboran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                       

Tinggalkan komentar